17 November 2008

Mature Leader (oleh Harry Uncommon)

Sering kali ketika saya mengajar di kelas-kelas leadership, muncul perdebatan, soal apakah kematangan emosi (“emotionally mature”) menentukan seorang pemimpin layak disebut sebagai pemimpin yang matang? Banyak keluhan dari para eksekutif, sulit menemukan pemimpin yang handal tapi matang? Berangkat dari paradigma bahwa pemimpin diciptakan, bukan dilahirkan (Vince Lombardi, John C. Maxwell), maka bukan hanya emosi yang di”matang”kan , tetapi juga cara pemimpin bersikap, tingkat intelektualnya, level “passion”nya dan kematangan spiritualnya. Ke lima (5) kompetensi ini perlu dimatangkan oleh seorang “mature” leader (pemimpin matang) agar ia mampu mencerahkan pengikutnya.

Emotionally mature (soul). Barack Obama, 47 tahun, bagi kita adalah contoh elegan dari pemimpin yang matang secara emosi, meski ia muda belia. Ia tidak pernah nampak emosional dalam keseluruhan kampanyenya. Ia memiliki 3 kualitas kematangan emosi yang tinggi, yaitu: tetap tenang, selalu arif dan nampak stabil meski hujatan dan serangan kubu McCain menghujaninya secara dahsyat terhadap dirinya & tim suksesnya. Pada akhirnya, ia bisa keluar sebagai pemenang dari pergulatan debat panjang pemilihan presiden Amerika. Hanya pemimpin yang matang emosinya yang bisa memenangkan “permusuhan” tajam yang melukai hati dan batin. Sebaliknya, pemimpin yang kurang matang (gelap mata), akan terjungkal dalam sikap emosional yang membuatnya tergesa-gesa mengambil keputusan, lalu membuat kesalahan dan kalah. Jika ia kalah, mencaci lawannya. Jika menang, ia berpesta-pora tak terkendali. Matang secara emosi berasal dari matang secara jiwa, tanda-tandanya a.l. adalah berjiwa besar, berhubungan dengan siapa saja secara baik, beretika tinggi. Obama juga dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pemimpin yang matang (change-value leader) seperti: rendah hati (“humble”), integritas dan passion.

Bagaimana cara mengasah kecerdasan emosi pemimpin? “Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran berjiwa besar. Jika sudah kalah, segeralah mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria (Kompas, “Belajar Mengaku Kalah” oleh Salahuddin Wahid, 15 Nov 2008). Banyak pemimpin kita, kalah di bidang ini. McCain adalah contoh “loser” yang berjiwa besar. Ia mendoakan Obama dan ikhlas dipimpin Obama sebagai presidennya.

Matang sikapnya (behavior). Baru-baru ini saya dan peserta kelas leadership sama-sama membedah kualitas kepemimpinan Barack Obama dan satu pemimpin dari Indonesia yang dikategorikan pemimpin matang dan sukses. Ditemukan bahwa, dari ke dua (2) pemimpin tsb., ada 6 sikap matang mereka yang paling menonjol a.l. selalu ikhlas bekerja keras, tetap jujur, bertanggung jawab, sangat peduli, konsisten dan mengayomi timnya. Ke-6 sikap ini (sering disebut sebagai sikap super positif oleh kalangan pemimpin), ternyata mampu melejitkan prestasi yang tak terbatas dari keduanya. Sebaliknya, ada GM tua, 50th, yang sikapnya belum matang, meski usianya matang dan ternyata prestasinya biasa-biasa saja.

Benar nasehat Zig Ziglar, motivator dunia, “It is not your aptitude, but it is your attitude that determines your altitude.” Sikap yang besar bersumber dari kematangan jiwa. Pemimpin yang matang, cenderung mengayomi, dibandingkan pemimpin yang kekanak-kanakan. Jika ke-2 pemimpin itu kekanak-kanakan sikapnya (bukan usianya), maka keduanya, tidak akan meraih posisi tinggi dalam organisasinya. Terbukti, yang satu presiden Amerika dan satunya CEO perusahaan lokal terkemuka di negara kita.

Intelektualnya mumpuni (mind). Tak diragukan lagi, saat Mahmoud Ahmadinejad sebelum terpilih menjadi Presiden Iran, ia menguasai benar sikap kebijakan luar negeri Iran terhadap Amerika, persoalan nuklir dan energi dunia. Demikian juga dengan Obama, ia fasih benar mengkomunikasikan visinya tentang perang di Iran dan Afganistan, solusi ekonomi global, tentang keamanan Amerika serta program kesejahteraan rakyat Amerika di kelas bawah dan menengah. Ia membawakan tema perubahan (”change”) yang cerdas dan mencerahkan bukan saja bagi Amerika tetapi juga di dunia yang sedang demam ”Obama”.

Di bidang ini, banyak rasanya calon pemimpin Indonesia di 2009, juga mumpuni secara intelektual. Tetapi apakah mereka, juga memiliki sifat kematangan yang lainnya? Jangan-jangan mereka diusung karena kemudaannya? Kata kunci untuk matang secara intelektual, ternyata bukan ijasah atau gelar, melainkan (1) kematangannya untuk terus belajar (“learning spirit”) dan (2) menguasai persoalan yang dihadapinya (“issue mastering”). Ciri dari pemimpin berintelektual tinggi adalah kepandaiannya dalam memilih alternatif solusi yang tersedia, memilah-milahnya dan memutuskannya dengan bijak dan elegan. Kecerdasan bukan hanya genius, jika itu harus genius, melainkan terampil berjalan dalam badai masalah.

“Passion”nya tak diragukan (heart). Salah satu kriteria pemimpin pemenang adalah mampu mengendalikan situasi kritis yang dihadapinya. Saya menyebut “passion” sebagai “gut” (gigh, ulet, tekun). Artikel Gill Corkindale dalam Harvard Business Publishing, 7 Nov 2008 dengan judulnya “The World's First 21st Century Leader”, ia menyebutkan Obama sebagai pemimpin abad 21 ini. Menurutnya, Obama layak diusung dan dinobatkan, karena fleksibilitasnya, humilitasnya, adaptabilitasnya, dan ketahanannya (“resilience”). Andapun bisa memperdebatkan soal ini?

Jim Collins dalam bukunya yang fenomenal “Good to Great”, menyarikan 2 kualitas pemimpin super sukses dunia, memiliki (1) ketegaran hati yang tidak tanggung (“resilience”) dan (2) mendemonstrasikan kerendahan hati yang “humble” (“humility”). Pemimpin yang matang, biasanya selalu dewasa (baca: tegar hati) dan rendah hati. Keinginannya sangat kuat untuk meraih apa yang diimpikan. Orang menyebutnya “result-oriented”, daya juangnya terhadap kinerja sangat tinggi. Ia tak mudah menyerah, tapi tidak sombong dan arogan. Sedangkan pemimpin yang tidak matang, biasanya selain manja (baca: tidak memiliki “passion”), yang menonjol malah arogansinya. Jika kita memiliki pemimpin jenis ini, bakalan organisasi kita atau negara kita akan mengalami kesulitan. Kita sudah pernah memiliki pemimpin jenis ini, bukan?

Matang secara spiritual (spirit). Krisis moral (baca: kalah dengan egonya) tak lain diakibatkan oleh krisis spiritual. Pemimpin yang matang secara spiritual biasanya tak mementingkan dirinya sendiri. Ia matang dalam memelihara amanah sorga yang diberikannya yaitu, berbagi kebaikan, kemuliaan dan kehormatan. Itu semua dilakukannya karena ketulusannya untuk berkorban bagi pengikut yang dipimpinnya.

Tiga (3) ciri pemimpin matang secara spiritual, bukan semata-mata usianya, (1) sedikit bicara, banyak berbuat bagi pengikutnya, (2) catatan integritasnya (kejujurannya) sangat baik (3) pembawa damai dan keteduhan bagi pengikutnya. John C. Maxwell menasehatkan kepada para pemimpin: ”Yang pertama harus dipimpin oleh setiap pemimpin di level mana saja, adalah memimpin moralnya sendiri terlebih dahulu, baru setelah itu memimpin orang lain.” Dalam hal yang satu ini, banyak pemimpin kita belum lulus.

Indonesia menunggu pemimpin matang yang mencerahkan sekaliber Barack Obama, yang telah lulus ujian dari ”nobody” ke ”somebody”. Bukankah demikian?

Harry “uncommon” Purnama, Trainer “Mature Leadership”

11 Agustus 2008

Seberapa besar kapasitas aktual diri kita?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Disekitar kita; begitu banyak orang hebat yang mengagumkan. Mereka
memiliki kemampuan diatas rata-rata. Sehingga terlihat unggul dari
manusia lainnya. Ketika dihadapkan pada suatu pekerjaan atau tugas
tertentu, mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan lebih baik dari
orang lain. Ketika mereka dihadapkan pada situasi sulit tertentu,
mereka selalu bisa menangani kesulitan itu dengan lebih baik dari
orang lain. Ketika prestasi mereka dievaluasi, track record-nya lebih
cemerlang dari kebanyakan orang. Seolah-olah, mereka benar-benar
manusia paling ideal untuk pekerjaan yang ditanganinya. Itu membuat
kita bertanya; "Mengapa Tuhan memberikan talenta begitu hebatnya
kepada dia? Sedangkan kepada saya tidak. Jika saya diberkahi
kemampuan yang seperti itu, pasti saya akan berprestasi seperti orang
itu." Benarkah demikian?

Beberapa waktu lalu, saya merasakan bahwa kemampuan lap top saya
sudah menurun sangat jauh sekali dari sebelumnya. Padahal, dia
menggunakan processor yang pasti memadai untuk mendukung kinerja
seorang perofesional. Kinerjanya yang semakin memburuk membuat saya
tidak mampu menyembunyikan ketidaksabaran ini, sampai-sampai boss
saya memergoki dan bilang; "Be patience Dadang, it is still
processing…" katanya. "She has to perform faster if she still wants
to work with me," saya menyahut. Tapi, kecaman saya tidak membuatnya
bekerja lebih cepat. Padahal, saya sudah melakukan clean disk, dan
juga defrag. Akhirnya, minggu lalu saya mengirim memo kepada teman-
teman di BT, bahwa saya mau lap top yang bisa bekerja lebih cepat.

Tak lama kemudian, lap top itupun masuk ke dalam klinik untuk
diperiksa para dokter spesialis computer, sebelum kembali keruang
kerja saya beberapa jam berikutnya. Tahukah anda, bagaimana
kinerjanya sekarang? Wuish, she runs like a flash! Sampai-sampai saya
terkejut dibuatnya. Sehingga saya tidak sabar untuk bertanya;"Man,
elo apain tuch lap top gue?"

Teman BT saya berkata;"Ditambah RAM-nya jadi dua kali lipat, Pak."
"Cuma begitu doank?"
"Iya. Hanya itu." Jawabnya. Saya tahu dia bangga dengan hasil
kerjanya. Dan saya sangat menghargai usahanya.
"Nggak elo ganti processornya?"
"Nggak Pak," katanya. "Masih bagus, kok." Lanjutnya.

Saat itu saya menyadari, bahwa processor adalah potensi atau
kapasitas maksimal tentang apa yang bisa dilakukan oleh sebuah
computer. Dalam diri manusia, itulah yang biasa kita sebut sebagai
talenta atau bakat, alias kapasitas terpendam dalam diri seseorang.
Dalam computer, fungsi processor itu penting pada saat kompuetr
sedang diaktifkan untuk bekerja. Ini menentukan sampai sejauh mana
fungsi computer itu bisa dimaksimalkan. Bagi manusia, fungsi talenta
itu penting pada saat kita sedang bekerja atau melakukan suatu
aktivitas. Ini menentukan sampai setinggi apa kita bisa berprestasi.

Sekarang, RAM itu apa? Mengapa meningkatkan RAM dua kali lipat bisa
menaikkan kinerja processor computer itu sedemikan bermaknanya? RAM
adalah sebuah playing ground. Tempat dimana file-file ditarik dari
hard disk dan siap untuk diaktifkan. Dioperasikan. Diolah.
Dieksekusi. Ditambah gambar ini dan itu. Meskipun kemampuan
prosesornya tinggi, namun jika RAM-nya terlampau kecil untuk
menampung file-file yang sedang diaktifkan, maka kinerja computer itu
akan menjadi sangat buruk. Dia tidak bisa menjadi computer canggih.
Manusia juga demikian. Meskipun talentanya besar. Potensi dirinya
tinggi. Namun, jika kapasitas playing ground-nya terlampau kecil
untuk menampung seluruh potensi diri itu, maka kinerjanya akan buruk
juga. Dia tidak akan bisa menjadi manusia unggul.

Ngomong-ngomong, bukankah kita seringkali berbangga hati dengan
menyebutkan bahwa; "manusia adalah super computer?" Jika klaim itu
benar adanya; bukankah seharusnya kita bisa lebih hebat dari computer
tercanggih sekalipun? Mungkin itu benar jika konteks yang kita maksud
adalah talenta atau potensi diri yang kita miliki. Sebab, kita
percaya bahwa kemampuan otak kita saja konon baru digunakan tidak
sampai 5% saja. Tetapi, jika kita berbicara tentang actualized
individual potential, maka kita harus bertanya ulang. Mengapa?
Karena, kita sudah bertemu dengan begitu banyak orang yang
sesungguhnya sangat berbakat, namun pencapaiannya tidak sampai kemana-
mana. Sebab, orang-orang ini telah membiarkan playing ground-nya
menjadi begitu kecil.

Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimana caranya memperbesar playing
ground diri kita? Ada banyak cara. Satu, melatih diri untuk sesuatu
yang lebih tinggi. Berapa banyak dari kita yang bersedia menantang
diri sendiri untuk menguasai keterampilan-keterampilan baru?
Kenyataannya kita sudah cukup puas dengan kemampuan yang kita miliki
saat ini. Melatih diri untuk sesuatu yang baru itu menguras tenaga.
Membutuhkan waktu. Dan memerlukan komitment. Mengapa kita harus
bersusah payah begitu jika kita sudah puas dengan keadaan sekarang?

Dua, meninggalkan comfort zone. Ada banyak peluang baru dalam jarak
setengah sentimeter dari diri kita. Namun, untuk meraihnya kita harus
bersedia keluar dari zona kenyamanan kita. Mungkin kita harus
meninggalkan kestabilan menuju kepada hal yang tidak menentu untuk
sementara waktu. Kita perlu menyesuaikan diri kembali. Kita harus
merevisi asumsi-asumsi diri. Dan banyak hal lagi yang mesti kita
ubah. Tetapi, berapa banyak dari kita yang bersedia meninggalkan
comfort zone seperti itu? Jika kondisi sekarang sudah membuat kita
enak, mengapa kita harus meninggalkan kenyamanan ini untuk sesuatu
yang beresiko dan penuh teka-teki?

Tiga, bersedia membayar harganya. Ketika kita melihat orang lain
berprestasi tinggi, seringkali kita hanya melihat hasil akhirnya
saja. Yaitu, berupa pencapaian hebat orang itu. Lalu, kita
berkata; "Beruntungnya dia. Tuhan telah berbaik hati memberinya
talenta yang hebat." Kita tidak pernah tahu bahwa orang itu telah
selama bertahun-tahun mengurangi jam tidurnya. Membuang kesenangannya
bermain-main dengan game computer yang menyita begitu banyak waktu,
tenaga dan biaya itu. Memeras pikirannya. Memaksa diri untuk
berdisiplin tinggi. Dan hanya berfokus kepada hal-hal yang akan
membawanya kepada peningkatan kualitas diri secara progresif.

Kita tidak pernah mengetahui semua kerja keras yang dilakukan oleh
orang itu. Karena kita terlampau silau oleh hasil akhir yang
dicapainya, sambil sesekali menelan ludah. Yang sebenarnya terjadi
adalah; `Hanya setelah orang itu bersedia membayar semua harganya
sajalah, dia baru bisa sampai kepada pencapaian itu.' Lagi pula,
kalau pun kita tahu pahit dan sulit serta terjal berlikunya jalan
yang harus dia tempuh; belum tentu kita mau mengikuti jejak
langkahnya, bukan? Padahal, ketiga hal itulah yang sesungguhnya telah
berhasil menjadikan playing ground-nya menjadi semakin besar.
Sehingga kapasitas dirinya juga menjadi semakin besar. Semakin besar.
Dan semakin membesar. Sehingga tidak heran jika orang itu bisa
meninggalkan manusia-manusia kebanyakan jauh dibelakangnya.

Jika dalam computer kita menyebutnya RAM, bagaimana dengan manusia?
Bolehkah saya menyebutnya HAM? Ya. HAM. Human Activated Memory.
Yaitu, memory yang tersimpan dalam diri kita, yang bisa kita gunakan
untuk berurusan dengan hal-hal yang kita hadapi secara spontan.
Memori itu berbahan dasar talenta. Yaitu, potensi yang tersimpan
didalam diri kita. Betul-betul dilatih dan diolah sampai menjadi
kemampuan actual. Sehingga, kapan saja kemampuan itu dibutuhkan, kita
bisa memanggil dan mendayagunakannya secara spontan.

Anda boleh saja mengklaim diri berbakat bermain piano, misalnya.
Tapi, jika bakat itu tidak diasah dengan sungguh-sungguh. Maka klaim
anda hanya akan menjadi bualan belaka. Permainan piano anda tetap
saja jelek. Anda boleh saja mengklaim bahwa diri andalah yang paling
layak mendapatkan promosi itu, bukan pesaing anda. Karena anda
mengira bahwa anda lebih senior. Lebih pintar. Lebih rajin. Tapi,
jika klaim anda itu tidak didukung oleh kapasitas actual yang bisa
anda tunjukkan; maka anda tetap saja akan menjadi karyawan jelek. Dan
hati anda juga jelek, karena dipenuhi rasa iri.

Anda juga boleh menganggap diri sendiri kurang berbakat. Jadi, wajar
saja jika pencapaian anda biasa-biasa saja. Anda tidak dilahirkan
untuk menjadi pemenang. Karena Tuhan memberi anda begitu banyak
keterbatasan. Hey, wake up! Bangun, bung! Tidak ada manusia yang
dilahirkan tanpa keterbatasan. Dan tidak ada manusia yang dilahirkan
tanpa membawa pesan dan seoles kemampuan. Wake up and realize that
YOU; don't need to be a perfect person to succeed. YOU, just need to
accept yourself just the way you are. And start to enlarge your own
playing ground. Your Human Actualized Memory. Your HAM. Would you?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/

07 Agustus 2008

Daur Ulang Maut

Mendaur ulang barang bekas menjadi produk bermanfaat merupakan upaya maju dari kreatifitas anak bangsa. Pengolahan sampah menjadi sumber energi, batu bata, produk kerajinan tangan dan produk lain yang bermanfaat tentu sangatlah bagus. Namun apa jadinya jika yang didaur ulang adalah kapas yang telah digunakan untuk membungkus luka di rumah sakit?.

Kabar terbaru yang saya dapatkan dari para netter, bahwa ada upaya-upaya mendaur ulang kapas bekas dari rumah sakit menjadi cotton bud.

Kapas-kapas itu dipisahkan dengan bekas darah, lalu dibleaching kemudian dibuatlah cotton bud atau bahasa kerenya korek kuping. Tak peduli kapas-kapas itu bekas luka yang mengalami infeksi, bekas darah orang yang baru kecelakaan atau bekas operasi, semuanya menjadi produk siap edar yang dikemas rapi bak keluaran pabrik.

Apa bahayanya menggunakan produk tersebut?. Tentu produk tidak steril tersebut membahayakan kesehatan. Apalagi kebetulan kapas daur ulang tersebut bekas untuk merawat pasien yang terkena virus atau bakteri membahayakan, tentu akan sangat mudah menular kepada kita. Apalagi ada sebagian orang yang membasahi cotton bud dengan mengulum sebelum digunakan. Wah…ngeri sekali…..

Produk daur ulang ini biasanya dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari produk branded. Harga yang murah ini cukup menarik bagi konsumen yang kurang memperhatikan mutu. Bukanya berhemat, alih-alih malah maut mengancam keselamatan kita.
Biasanya produk daur ulang tersebut mereka pasarkan di pinggir-pinggir jalan, lampu merah, dalam bus, dalam kereta api, terminal dan padagang kaki lima.
Sulit membedakan apakah cutton bud tersebut asli dibuat dari kapas steril ataukah dari kapas daur ulang. Sekilas tampak sama saja. Yang jelas kita perlu berhati-hati dengan produk yang tidak jelas asal-usulnya. Menggunakan produk bermerek dan membeli ke mall atau supermarket merupakan langkah aman yang bisa kita lakukan.

Pengusaha-pengusaha tanpa nurani ini memang tega mengeruk keuntungan tanpa menghiraukan keselamatan orang lain. Entah setan apa yang bersarang ditubuh mereka, sehingga tega berbuat sekejam itu.
Dipandang dari sisi bisnis, sebenarnya bisnis daur ulang kapas ini tidak akan bisa besar. Mengingat keterbatasan bahan baku yang hanya mengandalkan kapas bekas rumah sakit.

Padahal kalau pebisnis kapas daur ulang ini mau sedikit berfikir jangka panjang, tentunya ia tidak akan menjalankan bisnis kejam ini. Bagi pebisnis yang menginkan usahanya menjadi besar dan memiliki pabrik manufaktur cotton bud yang besar tentu akan memilih mencari bahan baku kapas steril yang disediakan dalam jumlah besar di pasaran.

Sayangnya mereka baru berfikir mendapat keuntungan sesaat saja. Mareka lebih memilih menjual sedikit produk dengan keuntungan besar ketimbang menjual produk dengan keuntungan kecil namun dalam jumlah besar.

Mungkinkah mereka telah menerapkan prinsip ekonomi yang diajarkan di SD, SMP dan SMA dulu? yaitu “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”.

Kalau memang benar, mungkin prinsip ekonomi tersebut sudah saatnya diganti dengan “Untuk mendapatkan keuntungan lebih besar diperlukan usaha yang lebih keras dan cerdas”.

Kalau “prinsip ekonomi baru” tersebut masih juga diselewengkan, mungkin perlu dirubah lagi menjadi “Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, harus menguntungkan semua pihak dan menghindari kerugian pihak lain”.

Kalau prinsip itu juga sulit dilaksanakan mungkin bisa diganti lagi dengan “Menguntungkan semua pihak atau MATI”. Wah kayak jaman perang aja ya…

Saya mengajak, marilah kita menjadi pengusaha-pengusaha yang bernurani dan bermartabat. Yakinlah apa yang kita lakukan kepada orang lain akan berbalik kepada diri kita sendiri. Baik dan buruk hanyalah pilihan, namun ketika kita salah memilih tidak pernah bisa kembali seperti semula.

Iwan Setiawan
www.aztechsoft-int.com
iwan.aztech@gmail.com

28 Juli 2008

Hargai Apa Yang Kita Miliki

Pernahkah Anda mendengar kisah Helen Kehler?
Dia adalah seorang perempuan yang dilahirkan dalam kondisi
buta dan tuli. Karena cacat yang dialaminya, dia tidak bisa
membaca, melihat, dan mendengar.

Nah, dalam kondisi seperti itulah Helen Kehler dilahirkan.

Tidak ada seorangpun yang menginginkan lahir dalam kondisi
seperti itu. Seandainya Helen Kehler diberi pilihan, pasti
dia akan memilih untuk lahir dalam keadaan normal. Namun
siapa sangka, dengan segala kekurangannya, dia memiliki
semangat hidup yang luar biasa, dan tumbuh menjadi seorang
legendaris.

Dengan segala keterbatasannya, ia mampu memberikan motivasi
dan semangat hidup kepada mereka yang memiliki keterbatasan
pula, seperti cacat, buta dan tuli.

Ia mengharapkan, semua orang cacat seperti dirinya mampu
menjalani kehidupan sebagaimana manusia normal lainnya,
meski itu teramat sulit dilakukan.

Ada sebuah kalimat fantastis yang pernah diucapkan Helen
Kehler:

"It would be a blessing if each person could be blind and
deaf for a few days during his grown-up live. It would make
them see and appreciate their ability to experience the joy
of sound".

Intinya, menurut dia merupakan sebuah anugrah bila setiap
orang yang sudah menginjak dewasa itu mengalami buta dan
tuli beberapa hari saja. Dengan demikian, setiap orang akan
lebih menghargai hidupnya, paling tidak saat mendengar
suara!

Sekarang, coba Anda bayangkan sejenak....

......Anda menjadi seorang yang buta dan tuli
selama dua atau tiga hari saja!

Tutup mata dan telinga selama rentang waktu tersebut.
Jangan biarkan diri Anda melihat atau mendengar apapun.
Selama beberapa hari itu Anda tidak bisa melihat
indahnya dunia, Anda tidak bisa melihat terangnya
matahari, birunya langit, dan bahkan Anda tidak bisa
menikmati musik/radio dan acara tv kesayangan!

Bagaimana Anda? Apakah beberapa hari cukup berat?
Bagaimana kalau dikurangi dua atau tiga jam saja?

Saya yakin hal ini akan mengingatkan siapa saja, bahwa
betapa sering kita terlupa untuk bersyukur atas apa yang
kita miliki. Kesempurnaan yang ada dalam diri kita.

Seringkali yang terjadi dalam hidup kita adalah keluhan
demi keluhan. Hingga tidak pernah menghargai apa yang
sudah kita miliki. Padahal bisa jadi, apa yang kita miliki
merupakan kemewahan yang tidak pernah bisa dinikmati oleh
orang lain.

Ya! Kemewahan untuk orang lain!

Coba Anda renungkan, bagaimana orang yang tidak
memiliki kaki? Maka berjalan adalah sebuah kemewahan yang
luar biasa baginya.

Helen Kehler pernah mengatakan, seandainya ia diijinkan
bisa melihat satu hari saja, maka ia yakin akan mampu
melakukan banyak hal, termasuk membuat sebuah tulisan yang
menarik.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, jika kita mampu
menghargai apa yang kita miliki, hal-hal yang sudah ada
dalam diri kita, tentunya kita akan bisa memandang hidup
dengan lebih baik.

Kita akan jarang mengeluh dan jarang merasa susah!

Malah sebaliknya, kita akan mampu berpikir positif dan
menjadi seorang manusia yang lebih baik.

Tabungan Waktu

Bayangkan jika sebuah bank memberikan anda uang sebesar $ 86.400 setiap hari. Dan jumlah tersebut harus dihabiskan dalam satu hari. Setiap sore uang yang tersisa akan dihapuskan dari account jika anda gagal untuk menggunakannya sepanjang hari. Apa yang akan anda lakukan ? Tentunya akan menggunakan uang tersebut setiap sen yang ada.

Kita semua memiliki bank seperti itu. Namanya WAKTU. Setiap pagi, anda diberikan waktu 86.400 detik Setiap malam akan dicatat, sebagai kehilangan, jika anda gagal untuk menginvestasikan dengan tujuan baik. Jumlah tersebut tidak akan dipindah-bukukan untuk keesokan harinya, juga tidak dapat dilakukan penarikan lebih dari jumlah yang telah ditentukan. Setiap hari akan dibuka sebuah account baru untuk anda, dan setiap malam account tersebut akan dihapuskan. Jika anda gagal untuk menggunakan simpanan pada hari itu, anda akan kehilangan. Hal ini tidak akan pernah kembali. Tidak akan pernah ada penarikan untuk hari esok. Anda harus hidup pada saat ini, untuk simpanan hari ini Investasikan hal ini untuk memperoleh dari investasi tersebut kesehatan, kebahagiaan dan keberhasilan yang sepenuh-penuhnya.

Untuk menyadari nilai SATU TAHUN, tanyakan pada seorang pelajar yang gagal naik tingkat Untuk menyadari nilai SATU BULAN, tanyakan pada seorang ibu yang melahirkan seorang bayi prematur. Untuk menyadari nilai SATU MINGGU, tanyakan pada editor dari majalah mingguan. Untuk menyadari nilai SATU JAM , tanyakan seorang kekasih yang menanti untuk bertemu. Untuk menyadari nilai SATU MENIT, tanyakan seorang yang ketinggalan kereta api

Untuk menyadari nilai SATU DETIK, tanyakan pada seseorang yang baru saja terhindar dari kecelakan. Untuk menyadari nilai SEPERSERIBU DETIK, tanyakan pada seseorang yang baru saja memperoleh medali perak dalam Olympiade.

Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Dan hargailah waktu itu lebih lagi, karena anda membagikannya dengan seseorang yang khusus, cukup khusus untuk membuang waktu anda. Dan ingatlah bahwa waktu tidak akan menunggu seseorang pun. Kemarin adalah sejarah. Hari esok adalah sebuah misteri dan hari ini adalah suatu hadiah. Itulah yang disebut dengan berkat. Waktu terus berjalan. Lakukanlah yang terbaik untuk hari ini.